PERUNDANG-UNDANGAN
Mahkamah Konstitusi Punya Peluang Uji Perppu No 4/2009
Rabu, 30 September 2009 | 03:25 WIB
Jakarta, Kompas – Hakim konstitusi Akil Mochtar, Selasa (29/9) di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, mengatakan, terbuka peluang bagi MK untuk menguji peraturan pemerintah pengganti undang-undang. MK tidak boleh terpaku dengan ketentuan, perppu hanya bisa diuji melalui political review oleh Dewan Perwakilan Rakyat. MK harus mengikuti perkembangan hukum ketatanegaraan.
Sebelumnya, Ketua MK Mahfud MD menegaskan, MK tidak akan menerima pengujian terhadap Perppu Nomor 4 Tahun 2009 mengenai Perubahan atas UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK yang diterbitkan 22 September lalu. Alasannya, MK hanya bisa menguji UU dalam arti formil (Kompas, 29/9).
Akil menyatakan, MK sebagai pengawal konstitusi sekaligus pelindung hak konstitusional warga negara seharusnya dapat menguji perppu. Apalagi, saat ini tidak ada lembaga negara yang dapat mengontrol penerbitan perppu.
MK dalam putusannya terdahulu memang menyatakan, penerbitan perppu adalah hak subyektif Presiden. Ini sesuai dengan Pasal 22 UUD 1945 yang memberikan kewenangan kepada Presiden jika ada kegentingan memaksa. Namun, kata Akil, tak ada satu ketentuan pun mengenai kriteria kegentingan memaksa, baik di UUD 1945 maupun UU.
”Perppu memang dibahas oleh DPR pada masa sidang berikutnya. Bisa diterima atau ditolak. Tetapi, tidak dijelaskan masa sidang mana. Padahal, kemungkinan terjadi kerugian konstitusional warga negara sejak perppu itu diterbitkan. Tugas MK itu melindungi hak konstitusional warga,” kata Akil.
Secara terpisah, ahli hukum tata negara, Taufiqurrohman Syahuri, dan pengajar Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas, Charles Simabura, menilai bahwa perppu bisa dibawa ke MK. Secara materiil, perppu sama dengan UU.
Selain itu, kata Taufiqurrohman, sekarang adalah saat tepat untuk membuat kriteria tentang ihwal kegentingan memaksa untuk penerbitan perppu.
Selain putusan MK, kata dia, pengaturan kriteria kegentingan memaksa juga dapat dimuat dalam UU tersendiri atau dimasukkan dalam revisi atas UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Charles juga mendorong hakim konstitusi membuat terobosan hukum terkait pengujian perppu itu. ”MK harus memastikan, apakah perppu bisa diuji di lembaga itu atau tidak. Ini diperlukan demi adanya kepastian hukum,” ujarnya.
Berpotensi komplikasi
Di Bandung, Jawa Barat, Selasa, mantan Ketua Mahkamah Agung (MA) Bagir Manan menilai, Perppu No 4/2009 prematur. Bahkan, perppu itu dikhawatirkan akan menimbulkan komplikasi hukum di kemudian hari.
Bagir, yang juga guru besar hukum tata negara dari Universitas Padjadjaran, menjelaskan, perppu semestinya cuma mengatur ranah eksekutif atau pemerintahan. ”Tidak bisa menyangkut soal kelembagaan negara semacam DPR atau MA. Ini lembaga independen. KPK juga lembaga independen,” tuturnya.
Jika perppu yang dikeluarkan menyangkut langsung keberadaan lembaga negara atau lembaga independen lain, itu akan menghilangkan esensi independensi lembaga itu. ”Istilahnya, constutional dictatorship (kediktatoran konstitusional),” ujarnya.
Di Jakarta, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Din Syamsuddin juga menilai, penerbitan Perppu No 4/2009 merupakan langkah melemahkan pemberantasan korupsi.
”Perppu itu bentuk intervensi pemerintah sekaligus melemahkan independensi KPK,” katanya. Perppu itu juga menunjukkan, pemerintah masih setengah hati dalam pemberantasan korupsi. (ana/jon/nta)
PENYUAPAN DI KPK
Masih Ditemukan Celah
Rabu, 30 September 2009 | 03:28 WIB
Jakarta, Kompas – Sejumlah celah masih ditemukan dalam Rancangan Undang-Undang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang disahkan Dewan Perwakilan Rakyat, Selasa (29/9) di Jakarta. Jadi, sejumlah penggiat gerakan antikorupsi berencana melakukan uji materi terhadap peraturan itu segera setelah resmi diundangkan.
”Aturan ini menciptakan dualisme. Misalnya, Pasal 26 RUU yang menyatakan, komposisi dan jumlah hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) ditentukan ketua pengadilan atau Ketua Mahkamah Agung (MA). Ketentuan ini dapat memunculkan ketidakpastian hukum,” ungkap praktisi hukum Bambang Widjojanto, Selasa (29/9) di Jakarta.
Komposisi dan jumlah hakim, kata Bambang, seharusnya tidak diubah, yaitu lima hakim dengan hakim ad hoc tiga orang. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 19 Desember 2006 tak mengamanatkan perubahan komposisi itu. ”Kami mengajukan uji materi segera setelah RUU ini diundangkan,” tegasnya.
Sidang Paripurna DPR, Selasa, setuju mengesahkan RUU Pengadilan Tipikor sebagai UU. Ketua Panitia Khusus RUU Pengadilan Tipikor Dewi Asmara melaporkan, RUU dibuat sebagai tindak lanjut putusan MK yang memutuskan, dalam tiga tahun perlu dibuat dasar hukum bagi keberadaan Pengadilan Tipikor.
Dalam pembahasan, kata Dewi, sejumlah materi krusial diputuskan dikembalikan ke posisi awal. Misalnya, tentang pengertian penuntut umum dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang tetap diberi hak untuk menuntut.
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Andi Mattalatta menambahkan, dengan dipertahankannya hak penuntutan, tidak ada anggapan ada usaha melemahkan KPK atau memperkuat institusi penegak hukum tertentu.
Wakil Ketua KPK M Jasin menyambut baik dipertahankannya kewenangan penuntutan itu. Jika kewenangan ini dihilangkan dari KPK, kinerja komisi itu terpengaruh. Bolak-balik pemberkasan penuntutan dari KPK ke kejaksaan amat mungkin terjadi.
Namun, Bambang curiga, sejumlah wacana kontroversial, seperti penghilangan hak KPK untuk menuntut, sengaja dimunculkan untuk menutup materi lain yang lebih penting, seperti jumlah dan komposisi hakim serta kedudukan pengadilan yang dalam waktu dua tahun harus ada di semua ibu kota provinsi.
Secara terpisah, peneliti hukum dan konstitusi Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN), Wahyudi Djafar, juga menjelaskan, pihaknya siap membawa RUU Pengadilan Tipikor setelah diundangkan ke MK untuk diuji materi. KRHN menengarai, dua pasal berpotensi menimbulkan masalah ke depan, yakni tentang komposisi hakim dan tempat Pengadilan Tipikor.
Menurut Wahyudi, jika komposisi hakim Pengadilan Tipikor tidak diatur jelas akan menimbulkan ketidakpastian hukum. Dualisme putusan kasus korupsi dikhawatirkan juga akan terjadi.
Di Semarang, Jawa Tengah, Selasa, Ketua MA Harifin A Tumpa mengatakan, MA menyiapkan sekitar 750 hakim karier untuk ditugaskan di Pengadilan Tipikor. ”Kami belum tahu apa saja yang harus kami lakukan, tetapi penyiapan hakim adalah yang utama,” katanya. Hakim yang terpilih akan segera mendapat pembekalan.
Jaksa Agung Hendarman Supandji di Jakarta, Senin, secara terpisah menuturkan, tidak ada masalah bagi institusinya jika KPK diberikan kewenangan penuntutan.
Sejauh ini, kata Hendarman, persoalan baru terjadi bila Pengadilan Tipikor hanya ada di setiap provinsi. Anggaran untuk menggelar sidang akan membengkak.(nwo/ana/idr/den)
STATUS PIMPINAN KPK
Wapres Desak Polri Lekas Tuntaskan
Selasa, 29 September 2009 | 03:11 WIB
Jakarta, Kompas – Wakil Presiden M Jusuf Kalla mendesak Kepolisian Negara Republik Indonesia secepatnya menuntaskan pemeriksaan terkait status pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi, Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Rianto, yang dituduh menerima dana Rp 5,15 miliar dari PT Masaro Radicom. Keduanya juga disangka menyalahgunakan wewenang dalam penerbitan pencegahan untuk Direktur PT Masaro Anggoro Widjojo serta pencegahan dan pencabutan pencegahan Direktur PT Era Giat Prima Djoko S Tjandra.
Polri diminta menuntaskan kasus itu dalam waktu seminggu. Demikian diungkapkan Wapres di Istana Wapres, Jakarta, Senin (28/9). Sebelumnya, Wapres memanggil Kepala Polri Jenderal (Pol) Bambang Hendarso Danuri di rumah dinasnya di Jalan Diponegoro, Jakarta.
Kedatangan Kepala Polri di rumah dinas Wapres dilakukan tanpa pengawalan yang mencolok. Setelah bertemu lebih kurang 40 menit, Bambang yang menggunakan mobil Land Cruiser hitam berpelat nomor B 2632 FS langsung meninggalkan rumah Wapres bersama iringan kendaraan Wapres.
”Polisi sanggup menuntaskan pemeriksaannya sehingga status hukum kedua unsur pimpinan KPK itu bisa diselesaikan dalam seminggu. Tadi saya minta untuk segera diselesaikan. Kepala Polri bisa memenuhinya. Jadi, minggu depanlah status hukumnya jelas,” tutur Wapres.
Menurut Wapres, Kepala Polri menyatakan proses pemeriksaannya akan dilanjutkan apabila unsur tindak pidana terpenuhi dalam penyidikan. Sebaliknya, jika tidak terbukti, Polri akan mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) dan mengembalikan keduanya sebagai unsur pimpinan KPK.
”Soal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Perubahan UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, tentu harus tetap berjalan sampai DPR menerima atau menolaknya. Tetapi, yang utama, Polri harus segera menuntaskan proses pemeriksaannya untuk kejelasan status hukumnya,” kata Wapres.
Seandainya Tim untuk Merekomendasi Calon Anggota Sementara Pimpinan KPK (dikenal sebagai Tim 5) telanjur mengusulkan tiga nama dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga menetapkannya, Kalla mengatakan, pimpinan sementara itu terus berlanjut jika tindak pidananya ditemukan. Kalau dikeluarkan SP3, pimpinan sementara itu otomatis berhenti dan pimpinan lama bekerja kembali.
Susno, internal Polri
Terkait tuntutan penonaktifan Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komisaris Jenderal Susno Duadji, Wapres menilai hal itu tergantung Kepala Polri. Namun, dia mengakui, penyidikan kasus terkait pimpinan KPK dan masalah Susno adalah pertaruhan nama baik Polri.
Secara terpisah, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD meminta Polri menghentikan penyidikan kasus Chandra dan Bibit. Ia menilai dugaan penyalahgunaan wewenang terhadap dua unsur pimpinan KPK itu lebih merupakan sengketa administrasi dalam hukum.
Penilaian itu, papar Mahfud, sebagai upaya untuk mengingatkan penegak hukum itu. Sebagai Ketua MK, yang bukan anggota kabinet, ia tidak memiliki forum resmi untuk menyampaikan peringatan itu.
Senin, Susno juga resmi diadukan ke Inspektorat Pengawasan Umum (Itwasum) Mabes Polri atas dugaan penyalahgunaan wewenang oleh Chandra dan Bibit. Pengaduan itu disampaikan setelah keduanya menjalani wajib lapor di Mabes Polri.
Ahmad Rivai, seorang kuasa hukum Chandra dan Bibit, menuturkan, mereka diterima langsung oleh Inspektur Pengawasan Umum Polri Komisaris Jenderal Yusuf Manggabarani. Laporan juga disampaikan kepada Presiden dan Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan.
Yusuf menuturkan, Itwasum dan Divisi Propam Polri akan memproses laporan itu. Namun, ia enggan berkomentar soal tuntutan penonaktifan Susno Duadji. (HAR/ANA/SF)
“Mati Surikan” Perppu 4/2009
Independensi KPK Dinilai Sudah Terganggu
Selasa, 29 September 2009 | 03:19 WIB
Jakarta, Kompas – Presiden Susilo Bambang Yudhoyono diminta ”mematisurikan” Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Perubahan atas UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Perppu itu tak perlu dilaksanakan.
Permintaan itu dikatakan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana dalam diskusi bertemakan ”Selamatkan KPK-Lawan Korupsi!” yang digelar Inside Forum, Senin (28/9) di Jakarta.
Hikmahanto, yang juga mantan anggota Panitia Seleksi Anggota KPK tahun 2007-2011, meminta pula Presiden menunda penyebutan nama pelaksana tugas pimpinan KPK hingga semua masalah di kepolisian menjadi jelas. ”Publik selama ini bertanya, bagaimana bisa sebelumnya polisi mempersoalkan penyalahgunaan wewenang lalu berubah menjadi dugaan suap pada beberapa anggota KPK,” ujarnya.
Menurut dia, perlu ketegasan soal apakah polisi benar menetapkan status tersangka bagi Wakil Ketua KPK (nonaktif) Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah didasari pembuktian dan fakta yang dapat dipertanggungjawabkan. Kepastian itu dibutuhkan untuk menepis kecurigaan yang muncul selama ini.
Salah satu cara membuktikannya, tambah Hikmahanto, adalah dengan mendesak Presiden meminta pimpinan Polri melakukan gelar perkara kasus itu dengan dihadiri pakar terkait yang berkompeten dan independen.
”Terlepas dari ada tidaknya kegentingan memaksa, perppu suka atau tidak sudah dibuat dan tercatat dalam lembar negara. Tak mungkin membatalkannya lagi. Jadi, lebih baik ’dimatisurikan’ saja,” ujar Hikmahanto.
Menurut Hikmahanto, Perppu No 4/2009 diakui sangat mengganggu independensi KPK, seperti diatur dalam Pasal 3 UU No 30/2002. Dalam pasal itu disebutkan, KPK harus independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun.
”Langkah penerbitan perppu oleh Presiden kali ini berpotensi mendatangkan fitnah. Presiden, seperti selama ini berkembang di masyarakat, dikatakan berniat melemahkan KPK dan bukannya menyelamatkan,” ujarnya.
Zainal Arifin dari Pusat Kajian Anti-Korupsi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, menyoroti kinerja Polri dalam kasus dugaan suap pimpinan KPK kali ini yang seolah menerapkan cara ”tangkap dahulu, bukti belakangan”. Seharusnya Presiden mampu mencium ”bau tidak sedap” kriminalisasi KPK oleh bawahannya (Polri) sejak awal, apalagi ketika semua tuduhan yang dialamatkan kepada pimpinan KPK dibantah berbagai kalangan.
Korupsi tingkat tinggi
Danang Widoyoko dari Indonesia Corruption Watch (ICW) dalam diskusi itu mengakui curiga KPK sengaja diintervensi dan dikriminalisasi lantaran tak lagi menangani kasus korupsi biasa saja, tetapi lebih dari itu.
”Serangan terhadap KPK sebetulnya muncul setelah mampu menangani kasus besar. Kasus yang ditangani KPK semakin ke sini adalah yang terkait atau menyentuh kepentingan lebih besar dan terkait kelompok yang selama ini terbilang berada di atas hukum,” ujar Danang.
Kondisi seperti itulah, kata dia lagi, yang melatarbelakangi upaya melemahkan KPK tanpa harus membubarkannya. ”Dengan begitu bisa disimpulkan korupsi di Indonesia sebenarnya sudah sangat mendalam. Sudah terkait kepentingan politik, bukan mencari keuntungan lagi,” ujarnya.
Peneliti politik dari Reform Institute, Yudi Latif, menyoroti, pemerintah dalam kasus terkait pimpinan KPK terlihat lebih menggunakan pendekatan kekuatan (might) ketimbang mencari cara yang benar (right) untuk menuntaskan masalah. Selain itu, kepolisian juga tidak akan berani berbuat seperti sekarang tanpa ada ”lampu hijau” dari atasannya, dalam hal ini presiden.
Jika tak mendapatkan ”restu”, Polri setidaknya sengaja dibiarkan mengacak-acak KPK. (dwa)
KOMPAS/YUNIADHI AGUNG
Danang Widoyoko dari Indonesia Corruption Watch (kiri) dan peneliti dari Reform Institute, Yudi Latif (kanan), menjadi pembicara dalam diskusi Selamatkan KPK-Lawan Korupsi! di Jakarta, Senin (28/9). Sejumlah tokoh menolak Perppu No 4/2009 tentang Perubahan Atas UU No 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi karena dinilai masih banyak masalah.
PERUNDANG – UNDANGAN
Dari KPK, Cegah Inflasi Perppu untuk Lima Tahun ke Depan
KOMPAS, Selasa, 29 September 2009 | 03:19 WIB
Hadiah ”Lebaran” dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang dikeluarkan Selasa (22/9) lalu mengejutkan banyak pihak. Tak cuma penggiat antikorupsi, tokoh masyarakat, akademisi, dan pakar pun tak habis pikir tentang pertimbangan Presiden mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 itu.
Perppu tentang Perubahan atas UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu memberikan dasar hukum bagi presiden untuk mengangkat pejabat pelaksana tugas pimpinan KPK ketika jumlah pimpinan KPK kurang dari tiga orang. Meski dihadang gelombang penolakan, perppu tetap tak terbendung.
Banyak alasan menolak perppu itu. Misalnya, syarat ihwal kegentingan memaksa yang dinilai tak terpenuhi hingga kecurigaan dijadikannya perppu sebagai alat untuk memasukkan kalangan dekat presiden ke KPK demi mengontrol lembaga yang seharusnya independen ini. Dalam bahasa kalangan lembaga swadaya masyarakat (LSM), KPK ke depan berpotensi menjadi ”alat pukul” presiden untuk menghabisi orang yang tidak disukai, menjadi boneka presiden.
Keluarnya perppu ini menyentakkan kesadaran semua pihak. ”Ini berbahaya. Jadi preseden buruk di masa datang,” kata ahli hukum tata negara Universitas Andalas, Saldi Isra.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie juga mengingatkan, perppu menjadi fasilitas paling efektif bagi presiden untuk mengubah UU, sesuai dengan kepentingan jangka pendeknya. ”Perppu bisa dipakai semena- mena, semau-maunya presiden. Kapan saja, ia bisa melanggar UU dengan perppu,” ujarnya.
Apalagi, kata Jimly, Presiden terpilih saat ini mendapat dukungan mayoritas parlemen. Partai Demokrat dan partai koalisinya menguasai 314 kursi dari 560 kursi DPR. Kondisi ini diprediksi akan membuat Yudhoyono kian percaya diri untuk kapan pun membuat perppu.
Peneliti hukum dan konstitusi Konsorsium Reformasi Hukum Nasional, Wahyudi Djafar, khawatir bakal terjadi inflasi perppu selama pemerintahan Yudhoyono pada lima tahun mendatang.
”Setiap ada persoalan, akan diselesaikan dengan perppu. Perppu berpotensi jadi alat presiden untuk mengatur hal teknis yang sebenarnya tidak boleh diatur dalam peraturan setingkat UU,” ujar Wahyudi.
Kewenangan presiden
Muncul gagasan untuk membatasi subyektivitas presiden dalam penerbitan perppu. Saran radikal justru datang dari Jimly. ”Cabut Pasal 22 UUD 1945. Itu desain lama yang tidak relevan lagi,” katanya.
Pasal 22 UUD 1945 berbunyi, ”(1) Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang. (2) Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan yang berikut. (3) Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut.”
Menurut Jimly, ada hal mendasar yang menjadi alasan, yaitu terkait pergeseran kuasa pembentuk UU dari presiden (sebelum amandemen) ke DPR (pascaamandemen). Sebelum amandemen, DPR hanya berwenang mengusulkan RUU, sementara penetapannya harus mendapat persetujuan presiden. Kondisi berubah. Pasal 5 Ayat 1 perubahan UUD 1945 menyatakan, Presiden berhak mengajukan RUU kepada DPR. Ketentuan ini terkait dengan Pasal 20 Ayat 1, DPR memegang kekuasaan membentuk UU.
Menurut Jimly, Pasal 22 yang memberikan kewenangan kepada presiden mengeluarkan perppu tak sinkron dengan pergeseran ini. Sebab, kuasa pembentukan UU di tangan DPR.
Apalagi, Pasal 22 Ayat 3 mengisyaratkan, perppu tak dapat batal dengan sendirinya meski ditolak DPR. Perppu itu harus dicabut. Ketentuan ini memberi celah bagi presiden untuk memanfaatkan masa/jeda antara penolakan dan pencabutan untuk melakukan tindakan hukum.
Kasus ini terungkap pada Perppu Nomor 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan yang menjadi dasar penyelamatan Bank Century. Perppu itu tidak diterima DPR pada 18 Desember 2008 yang artinya harus batal. Namun, pengucuran dana tetap dilakukan meski penolakan disampaikan. Belakangan, muncullah gonjang-ganjing dana Rp 6,7 triliun yang telanjur mengucur ke Bank Century.
Bagi Jimly, ketentuan ini sangat berbahaya. Perppu akhirnya berpotensi disalahgunakan untuk mengakomodasi kepentingan tertentu. Misalnya, presiden butuh melakukan sesuatu hal dalam jangka satu bulan ke depan, tetapi UU tak mengizinkan, perppu menjadi jalan paling efektif meski kemudian ditolak DPR. Pascapenolakan pun, perppu masih sah secara yuridis formil dan dapat digunakan sebagai dasar pengambilan kebijakan jika belum dicabut.
Namun, ide itu tak banyak mendapat persetujuan. Selain karena dinilai terlalu berbahaya mengubah konstitusi saat ini, khawatir ditumpangi kepentingan lain, juga secara teori ketentuan mengenai perppu tidak terkait dengan pergeseran kekuasaan pembentukan UU. Hal itu diungkapkan oleh pakar hukum tata negara Irman Putra Sidin.
Menurut dia, perppu adalah privilese (keistimewaan) yang melekat pada presiden sebagai pengimbang DPR sebagai pemegang kekuasaan UU.
Perppu adalah hak legislasi atau legislative right presiden untuk menghadapi secara cepat dan tepat situasi genting dan memaksa, seperti terjadi suatu kekosongan hukum/UU.
Irman mengakui, setiap hak keistimewaan memungkinkan terjadinya penggunaan secara otoritarian. Namun, dalam perppu, hal ini akan ditinjau DPR. DPR bisa menolak, bahkan lebih jauh mempertanyakan (interpelasi), menyelidiki (angket), dan menyatakan pendapat. ”Inilah kontrol DPR terhadap perppu,” ujarnya. Namun, laku ideal ini tentu mengandaikan adanya suatu peta kekuatan politik yang imbang dalam DPR.
Perlu pembatasan
Dibandingkan dengan mengamandemen konstitusi, ide untuk membuat pembatasan terhadap ”hak subyektif presiden” dinilai beberapa kalangan lebih realistis. Langkah ini bisa dilakukan dengan mengupayakan uji materi perppu ke MK atau melalui perubahan UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Idenya adalah perlunya definisi atau batasan mengenai ”hal ihwal kegentingan yang memaksa”.
Dari dua pilihan itu, menurut Irman, langkah yang paling efektif adalah melalui uji materi perppu ke MK. Sebab, uji materi dapat dilakukan siapa pun. Berbeda dengan proses pengajuan perubahan UU No 10/2004 yang membutuhkan dukungan dan waktu yang relatif lama.
Hanya, kata Irman, MK pada era kepemimpinan Jimly pernah memberikan pendapat terkait ”hal ihwal kegentingan yang memaksa”. Itu terlihat dalam perkara Nomor 003/PUU-III/ 2005 mengenai hak uji materiil dan formil atas UU Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan UU No 41/1999 tentang Kehutanan.
Dalam putusan itu, MK menyatakan tak berhak menguji perppu karena hal itu adalah political review oleh DPR. Namun, tidak tertutup kemungkinan bagi MK untuk menafsir kembali hal itu. Dalam putusan itu pula, MK menegaskan ”hal ihwal kegentingan memaksa” adalah hak subyektif presiden yang menjadi obyektif jika disetujui oleh DPR. (Susana Rita)
Kewenangan KPK Tetap
Pemerintah Minta KPK Tetap Berwenang Menuntut
Selasa, 29 September 2009 | 03:26 WIB
Jakarta, Kompas – Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah setuju mempertahankan kewenangan penyadapan dan penuntutan pada Komisi Pemberantasan Korupsi.
”Seluruh fraksi dan pemerintah sepakat meneruskan pengambilan keputusan pada rapat paripurna. Soal penuntut umum, ketentuan diubah menjadi penuntut umum adalah penuntut umum sebagaimana dimaksud perundang-undangan yang berlaku,” ujar Ketua Pansus Dewi Asmara, Senin (28/9) malam.
Kesepakatan diambil melalui lobi setelah sebelumnya pemerintah menolak rencana pemangkasan kewenangan penuntutan dan penyadapan pada KPK. Pandangan pemerintah berseberangan dengan delapan fraksi di Pansus RUU Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang menginginkan pemangkasan kewenangan KPK. Sikap fraksi itu disampaikan dalam pandangan mini fraksi dalam rapat kerja Pansus, semalam di Jakarta.
”Sistem peradilan pidana mengandung lima struktur, yaitu penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di muka persidangan, dan pelaksanaan putusan. Kita sekarang di etape keempat, sekuen pemeriksaan di muka persidangan. Kita tidak boleh menyinggung sekuen lain. Jika menyinggung, itu aksesori saja,” ingat Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Andi Mattalatta.
Menurut Andi, ketentuan tentang penuntut umum harus dikembalikan sesuai ketentuan perundang-undangan terkait. Artinya, jika ingin mengubah kewenangan penuntutan KPK, harus melalui perubahan UU KPK, yang mengatur kewenangan. Demikian pula terkait penyadapan. Pengubahan atas ketentuan itu harus melalui UU yang mengatur penyelidikan dan penyidikan.
Sebelumnya, Fraksi Bintang Pelopor Demokrasi, Fraksi Kebangkitan Bangsa, Fraksi Partai Bintang Reformasi, Fraksi Partai Amanat Nasional, Fraksi Partai Damai Sejahtera, Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (F-PDIP), dan Fraksi Partai Golkar (F-PG) mendukung pemangkasan kewenangan KPK. Fraksi Partai Demokrat (F-PD) dan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera menolak pemangkasan.
Khahar Muzakir, juru bicara F-PG, menjelaskan, fraksinya setuju pengesahan RUU itu dengan catatan komposisi hakim pada sidang Pengadilan Tipikor mayoritas hakim karier. Kewenangan penuntutan kembali ke Kejaksaan Agung. Soal penyadapan diatur hanya untuk kasus korupsi dengan kerugian negara yang melebihi Rp 10 miliar, harus izin ketua pengadilan negeri, dan dilakukan dalam waktu 30 hari dan bisa diperpanjang 15 hari.
”Jaksa adalah jaksa penuntut umum. Penyadapan harus sah,” imbuh M Nurdin dari F-PDIP.
Juru bicara F-PD, Bambang Sucipto Syukur, menjelaskan, fraksinya sepakat dengan RUU yang diusulkan pemerintah. Tentang penuntut umum, adalah penuntut umum pada Kejaksaan Agung dan KPK.
Dalam lobi, pemangkasan kewenangan KPK itu dibatalkan.
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD, Senin di Jakarta, menilai, jika RUU Pengadilan Tipikor disetujui, itu adalah pilihan politik DPR dan pemerintah. ”MK telah menyatakan kewenangan penuntutan dan penyadapan KPK itu sah dan konstitusional. Ini sudah diakomodasi dalam beberapa putusan MK,” katanya. (ana/edn)
PERPPU NO 4/2009
Mahkamah Konstitusi Tak Akan Terima Uji Materi
Selasa, 29 September 2009 | 03:17 WIB
Jakarta, Kompas – Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD menegaskan, MK tidak akan menguji materi peraturan pemerintah pengganti undang-undang. Pasalnya, perppu hanya boleh diuji melalui political review (uji politik) di Dewan Perwakilan Rakyat dan bukan judicial review atau uji materi di MK.
Hal itu dikemukakan Mahfud seusai menerima perwakilan sejumlah lembaga swadaya masyarakat di ruang kerjanya di Jakarta, Senin (28/9). Hadir menemui Mahfud adalah perwakilan Indonesia Corruption Watch (ICW), Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN), Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), serta Demos.
Selasa lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerbitkan Perppu Nomor 4 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Perppu itu memberikan kewenangan kepada Presiden untuk mengangkat anggota sementara pimpinan KPK bila terjadi kekosongan keanggotaan pimpinan KPK sehingga pimpinannya kurang dari tiga orang.
Menurut Mahfud, perppu tak dapat diuji MK. MK hanya menguji UU dalam arti formil. UU dalam arti formil adalah apabila pemerintah dengan DPR mengambil keputusan secara bersamaan membuat UU. MK tak dapat menguji UU dalam arti materiil, yaitu jika suatu lembaga yang memiliki kewenangan peraturan perundangan mengeluarkan suatu keputusan yang isinya mengikat masyarakat secara umum. UU dalam arti materiil ini meliputi peraturan pemerintah (PP), peraturan daerah (perda), dan lainnya yang mengikat satu komunitas.
Tetap akan ajukan
Meski tak akan diterima, Febri Diansyah dari ICW dan Wahyudi Djafar dari KRHN bersikeras tetap akan mengajukan uji materi terhadap Perppu No 4/2009. Febri melihat, uji materi terhadap perppu wajib hukumnya, mengingat DPR yang diragukan obyektivitasnya dalam membahas perppu.
”DPR periode 2009-2014 dikhawatirkan hanya akan menjadi stempel bagi kebijakan yang dikeluarkan pemerintah,” ujar Febri lagi. Hal itu sangat berbahaya pada masa mendatang. Presiden bisa saja mengeluarkan perppu setiap saat. Hal itu berpotensi mengancam kehidupan demokrasi dalam jangka panjang.
Wahyudi mengatakan, uji materi terhadap perppu memang belum menjadi mekanisme yang dapat diterima. Meski demikian, uji materi perppu ke MK harus ditradisikan, mengingat peta kekuatan politik di DPR yang dikuasai partai pemerintah.
Secara terpisah, menurut Ketua Institut untuk Demokrasi dan Perdamaian Setara Hendardi, Mahfud sebagai hakim konstitusi dinilai teramat aktif memberikan dukungan terhadap perppu terkait kepemimpinan KPK. Padahal, pada fase ini MK belum memiliki kewenangan.
”Sikap politik” MK melalui ketuanya itu, kata Hendardi, akan berimplikasi serius ketika perppu itu diuji di MK. (ana)
KOMPAS/ALIF ICHWAN
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (nonaktif), Bibit Samad Rianto (kanan) dan Chandra M Hamzah (kiri), didampingi juru bicara tim kuasa hukum Luhut MP Pangaribuan (tengah), Minggu (27/9) siang di Jakarta, menunjukkan bukti-bukti dokumen ketidakterlibatan kedua unsur pimpinan KPK itu dalam kasus dugaan suap.
DUGAAN PENYUAPAN
Bantah Kepala Polri, Pimpinan KPK Tunjukkan Bukti
Senin, 28 September 2009 | 03:13 WIB
Jakarta, Kompas - Bibit Samad Rianto, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (nonaktif), Minggu (27/9) dalam jumpa pers di Jakarta, menunjukkan sejumlah barang bukti untuk membantah dugaan penerimaan uang dari Direktur PT Masaro Radiocom Anggoro Widjojo. Bukti itu sekaligus untuk mematahkan tudingan polisi mengenai penerimaan uang senilai Rp 1,5 miliar di Bellagio Residence, Jakarta, antara tanggal 12 Agustus dan 18 Agustus 2008.
”Pada 11-18 Agustus 2008 saya di Peru,” ujar Bibit. Ia juga menunjukkan surat jalan, paspor, tiket, dan surat undangan dari Kedutaan Besar Peru kepada wartawan.
”Bellagio Residence saja saya tak tahu, apalagi pernah ke sana. Jika dikatakan ada yang bertemu saya di Hotel Bellagio Residence, itu mungkin setan atau jin yang mirip dengan saya,” kata Bibit.
Bantahan soal penerimaan uang juga disampaikan Chandra M Hamzah, Wakil Ketua KPK (nonaktif) yang juga disangka menerima uang Rp 1 miliar dari Ari Muladi. Ari disebut-sebut sebagai suruhan Anggoro.
Jumat lalu, Kepala Polri Jenderal (Pol) Bambang Hendarso Danuri melontarkan dugaan penerimaan uang oleh pimpinan KPK. Disebutkan, terjadi penyerahan uang Rp 5,15 miliar dari Ari untuk pencabutan pencegahan (larangan ke luar negeri) Anggoro, yang menjadi tersangka tindak korupsi proyek sistem radio komunikasi terpadu Departemen Kehutanan. Penyerahan uang itu dilakukan tiga tahap, 11 Agustus 2008, 13 November 2008, dan 13 Februari 2009 (Kompas, 26/9).
Chandra mengaku bingung terhadap penjelasan Kepala Polri. Waktu penerimaan yang ditudingkan berubah terus. Ia memiliki beberapa versi sangkaan.
Dari dokumen yang dimiliki, ia disangka menerima uang pada 27 Februari 2009. Tanggal ini berbeda dengan data yang dilansir media elektronik pada 15 April 2009, yang lalu berubah menjadi sekitar Maret 2009. ”Ini ada tuduhan dan ada dokumen. Yang mana yang benar, saya tidak tahu,” ujarnya.
Tim Kuasa Hukum KPK meminta polisi segera mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan kasus dugaan suap dan penyalahgunaan wewenang, dengan tersangka Chandra dan Bibit. Anggota Tim Kuasa Hukum, Luhut MP Pangaribuan, menilai tak ada bukti permulaan yang cukup untuk menetapkan pimpinan KPK sebagai tersangka. ”Soal penyerahan uang, paling tidak harus ada dua saksi yang melihat langsung, atau bukti lain, surat tanda terima yang betul-betul ditandatangani oleh yang menerima,” ujar Luhut.
Hari Senin ini, Chandra dan Bibit akan menjalani wajib lapor ke polisi.
Dipaksa polisi
Secara terpisah, Minggu di Jakarta, Ari Yusuf Amir, seorang penasihat hukum Ketua KPK (nonaktif) Antasari Azhar, mengungkapkan, kliennya mengaku dipaksa polisi untuk membuat laporan polisi pada 6 Juli 2009. Antasari juga menyangkal pernah menyarankan Ari Muladi untuk memberikan uang kepada Chandra, seperti yang dikatakan Kepala Polri dalam jumpa persnya, Jumat.
Ari Muladi, melalui penasihat hukumnya, Sugeng Teguh Santosa, juga menyatakan tak pernah berhubungan dan menyerahkan uang langsung kepada pimpinan KPK, termasuk Chandra.
Ari Yusuf Amir menuturkan, laporan Antasari tertanggal 6 Juli itu, seperti testimoni yang dibuatnya pada 16 Juni 2009, adalah perintah polisi. ”Awalnya Pak Antasari menolak permintaan itu. Namun, ia terus dipaksa dengan alasan untuk kelengkapan administrasi,” katanya.
Saat ditanya kenapa Antasari akhirnya bersedia membuat laporan, Ari menjawab, ”Kita tahu kondisi orang yang ditahan, terutama di tahanan polisi.”
Ari menambahkan, sejak awal memang banyak kejanggalan dalam pengusutan kasus ini. ”Kejanggalan lain, misalnya saat Antasari pada 4 Mei 2009 datang ke Markas Polda Metro Jaya untuk diperiksa dalam kasus pembunuhan Direktur Putra Rajawali Banjaran Nasrudin Zulkarnaen. Saat itu dia jelas datang sendiri dan tidak karena ditangkap. Namun, sebelum ditahan, ia diminta menandatangani surat penangkapan,” tutur dia lagi.
Antasari tak pernah dan tak mungkin minta Ari Muladi menyerahkan uang ke Chandra. ”Itu tak masuk akal. Saat itu Antasari sedang menyelidiki dugaan suap di KPK. Aneh, jika dia malah menyuruh Ari menyerahkan uang kepada Chandra,” katanya.
Sugeng mengatakan, Ari yang merupakan pengusaha distribusi pupuk di Surabaya dan bergelar insinyur pertanian ini tidak pernah berhubungan dan menyerahkan uang secara langsung kepada pimpinan KPK.
Ari Muladi, lanjut Sugeng, memang pernah dihubungi Anggodo Widjojo (adik Anggoro) yang dikenalnya lebih dari 25 tahun. Anggodo meminta tolong kepada Ari agar dicarikan jalan keluar terkait pengusutan KPK atas kasus yang melibatkan PT Masaro.
”Ari lalu menemui A, pengusaha di Surabaya, yang mengaku dapat berhubungan dengan KPK.
A lalu minta uang yang katanya untuk pimpinan KPK. Ari pun mengatakan hal itu kepada Anggodo. Anggodo menyerahkan uang Rp 5,1 miliar, yang diberikan dalam tiga tahap ke Ari. Uang itu oleh Ari diserahkan ke A. Dalam proses ini, Ari mendapat 30.000 dollar AS dari A,” papar Sugeng.
Menurut Sugeng, A pernah menginformasikan kepada Ari Muladi bahwa Chandra belum diberi uang. Ari bicara kepada Anggodo. Anggodo memberikan lagi Rp 1 miliar dalam bentuk dollar Singapura kepada Ari, yang lalu diserahkan kepada A. ”Keberadaan A sekarang tak jelas. Ari juga tidak tahu apakah A menyerahkan uang itu ke pimpinan KPK atau tidak,” ujarnya.
Saat diperiksa sebagai saksi pada Juli, lanjut Sugeng, Ari mengaku memberikan uang kepada pimpinan KPK. Pengakuan itu untuk menyenangkan Anggodo. Namun, Agustus lalu, keterangan itu dicabut. (ANA/NWO)
Degradasi Pemberantasan Korupsi
KOMPAS, Senin, 28 September 2009 | 04:29 WIB
Hifdzil Alim
Salah satu alasan mengapa korupsi kurang dipelajari sebagai masalah kebijakan mungkin karena perasaan tidak ada yang bisa dilakukan untuk itu.
Usia korupsi sama tuanya dengan pemerintah itu sendiri (Robert C Tilman: 1979). Tilman benar. Pasalnya, kebijakan pemerintah dalam pemberantasan korupsi kadang malah menimbulkan efek korupsi yang lebih akut meski kebijakan itu sebelumnya dimaksudkan sebagai tindakan preemtif ataupun preventif terhadap kasus korupsi.
Contoh, kebijakan terbaru pemerintah untuk menyelamatkan uang negara yang diambil anggota DPRD 2004-2009 melalui tunjangan komunikasi intensif (TKI) serta belanja penunjang operasional (BPO) pimpinan dan anggota DPRD dinilai kontraproduktif dengan usaha memberantas korupsi di negara ini.
Penggembosan
Menteri Dalam Negeri (Mendagri) menerbitkan surat edaran (SE) No 555/3032/SJ pada 18 Agustus 2009 (SE 555) yang menjawab surat Ketua Asosiasi DPRD Provinsi Se-Indonesia bernomor 42/ADPSI/VII/2009 tanggal 31 Juli 2009.
Petikan isi SE itu menyatakan, jika sampai batas waktu yang ditentukan anggota DPRD belum melunasi pengembalian TKI dan BPO, tidak akan dilimpahkan kepada penegak hukum alias tidak dipidana. Ketentuan SE itu bak penggembosan ban pemberantasan korupsi.
Sebelumnya, dana TKI dan BPO yang diatur dalam Pasal 10A Peraturan Pemerintah (PP) 37 Tahun 2006 dan diberikan kepada anggota DPRD 2004-2009 dianggap sebagai uang korupsi. Sebab, dana itu tidak sesuai dengan peruntukan, bagian dari penyelewengan anggaran, dan merugikan keuangan negara.
Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran menghitung, dana negara yang digelontorkan untuk memenuhi TKI dan BPO sebesar Rp 1,4 triliun. Potensi kerugian negara di beberapa daerah pun beragam. Di DKI Jakarta sebesar Rp 6,55 miliar, Banten Rp 3,79 miliar, Maluku Utara Rp 4,26 miliar, dan NTB Rp 1,1 miliar.
Berdasarkan penghitungan Badan Pemeriksa Keuangan pada semester I dan II tahun 2008, kerugian negara yang baru dikembalikan dari 152 daerah adalah Rp 210,8 miliar (Kompas, 31/08/09). Sisanya, 358 daerah, belum mengembalikan.
Korupsi
TKI dan BPO adalah bagian dari penyelewengan anggaran di daerah. Catatan penggiat antikorupsi memetakan, penyelewengan anggaran menjadi modus populer di daerah. Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum UGM mencatat, selama tahun 2008-2009, korupsi merupakan modus teratas penyelewengan anggaran (63 persen).
Sebagai perbandingan, tahun 2000-2001, penyelewengan anggaran hampir terjadi di tiap daerah, dimainkan anggota DPRD. Lihat saja neraca belanja DPRD di delapan daerah yang tidak sesuai standar belanja DPRD dalam PP 110 Tahun 2000 tentang Kedudukan Keuangan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Kedelapan daerah itu, DPRD Bengkulu menghabiskan anggaran Rp 5,96 miliar (seharusnya hanya Rp 5,06 miliar), DPRD Lampung Rp 15,02 miliar (seharusnya Rp 8,46 miliar), DPRD DKI Jakarta Rp 90,03 miliar (seharusnya Rp 30,16 miliar), DPRD Jawa Timur Rp 29,80 miliar (seharusnya Rp 9,45 miliar), DPRD Kalimantan Barat Rp 10,32 miliar (seharusnya Rp 5,42 miliar), DPRD NTT Rp 8,09 miliar (seharusnya 4,95 miliar), DPRD NTB Rp 11,89 miliar (seharusnya Rp 4,44 miliar), DPRD Sulawesi Tengah Rp 8,17 miliar (seharusnya Rp 7,27 miliar) (HCB Dharmawan, dkk: 2004).
Kebijakan pemerintah tentang TKI dan BPO dalam PP 37 Tahun 2006 menuai banyak protes. Ketentuan TKI dan BPO lalu dicabut pemerintah. PP 21 Tahun 2007 terbit menggantikan PP 37 Tahun 2006, memidanakan anggota DPRD yang tetap mengonsumsi dana TKI dan BPO.
Bersamaan terbitnya PP 21 Tahun 2007, Mendagri menerbitkan SE 700/08/SJ (SE 700) ihwal tunggakan pengembalian dana TKI dan BPO. SE 700 memerintahkan agar jika sampai batas waktu yang ditentukan pimpinan dan anggota DPRD belum melunasi TKI dan BPO, mereka akan diseret aparat penegak hukum di daerah. Artinya, dengan ketentuan PP 21 Tahun 2007 dan SE 700, tanggal 22 Agustus 2009 adalah batas akhir anggota DPRD mengembalikan uang negara. Namun, kebijakan baru Mendagri (SE 555) telah mendegradasi usaha pengembalian uang negara itu.
Usaha memberantas korupsi harus terus jalan. Degradasi pemberantasan korupsi harus diakhiri. Pertama, Mendagri harus mencabut SE 555. Pencabutan itu penting guna menjaga emosi pemberantasan korupsi agar tidak kendur.
Kedua, aparat penegak hukum harus tetap aktif memeriksa anggota DPRD yang belum mengembalikan dana TKI dan BPO. Berharap kebijakan pemerintah menjadi kebajikan dalam pengembalian harta negara.
Hifdzil Alim Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum UGM
Wapres Minta Polri Utamakan Kejelasan Kasus Pimpinan KPK
Sabtu, 26 September 2009 | 03:24 WIB
Jakarta, Kompas – Wakil Presiden M Jusuf Kalla menilai Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Perubahan atas UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, terkait penetapan pimpinan sementara KPK, harus dijalankan. Namun, sejalan dengan itu, Kepolisian Negara Republik Indonesia juga harus segera mengutamakan kejelasan nasib pimpinan KPK.
Polri menetapkan Wakil Ketua KPK Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Rianto sebagai tersangka dugaan penyalahgunaan wewenang, terkait pencegahan atas pengusaha Anggoro Widjojo serta pencegahan dan pencabutan pencegahan (larangan ke luar negeri) atas pengusaha Djoko S Tjandra. Keduanya kini nonaktif.
Bila Bibit dan Chandra bersalah, kata Wapres di Jakarta, Jumat (25/9), proses hukum harus dilanjutkan. Jika tak terbukti, polisi harus membebaskan dan menempatkan keduanya sebagai pimpinan KPK sehingga perppu tak berlaku.
”Ada pandangan, sambil jalan perppu, Polri mengutamakan dulu proses untuk memperjelas status hukum pimpinan KPK,” katanya. Menurut Kalla, hal itu penting agar sistem hukum Indonesia tak rusak karena sekarang berjalan dengan baik.
”Itu keinginan masyarakat dan juga keinginan kita semua agar Polri mengutamakan hal itu. Itu juga saya sampaikan kepada Kepala Polri agar ada kepastian hukum,” kata Wapres.
Wapres mengatakan, sebelum Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berangkat ke Amerika Serikat, Presiden juga memberikan instruksi khusus agar Polri menjelaskan hal itu.
Calon dari KPK
Secara terpisah, Wakil Ketua KPK tersisa, M Jasin dan Haryono Umar, mengharapkan tiga calon anggota sementara pimpinan KPK, yang akan direkomendasikan kepada Presiden, berasal dari dalam KPK atau mantan unsur pimpinan KPK. Harapan itu disampaikan saat keduanya bertemu dengan Tim Rekomendasi Calon Anggota Sementara Pimpinan KPK yang dipimpin Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Widodo AS, Jumat di Jakarta.
Anggota Tim, Adnan Buyung Nasution, menuturkan, pertemuan dilakukan karena pimpinan KPK belum diajak bicara saat Presiden menerbitkan Perppu No 4/2009. Dalam perppu itu antara lain disebutkan, Presiden mengangkat anggota sementara pimpinan KPK jika pimpinan komisi itu kurang dari tiga orang.
Jasin menegaskan, KPK adalah lembaga negara sehingga tak bisa menolak Perppu No 4/2009, apalagi perppu itu dimaksudkan untuk memperkuat KPK.
Jumat lalu, Jasin menyatakan, perppu sebaiknya diterbitkan bila pimpinan KPK yang berstatus tersangka ditetapkan sebagai terdakwa. Tim Pembela KPK menilai, dengan perppu itu, Presiden mudah dipersepsikan mendukung langkah yang dapat dikategorikan sebagai upaya melemahkan KPK (Kompas, 19/9).
Namun, Jasin, mengaku tidak pernah menulis surat dan menandatangani pernyataan menolak perppu. Ia mempersilakan jika ada pihak yang menolak perppu, tetapi jangan memakai nama KPK. (HAR/NWO)
Dugaan Pidana
Liputan 6
DPR Rekomendasikan Adanya Dugaan Pidana Kasus Century
Liputan6.com, Jakarta: Di penghujung masa jabatan, Dewan Perwakilan Rakyat periode 2004-2009 mengesahkan banyak rancangan undang-undang dan rekomendasi. Satu di antaranya rekomendasi atas kasus Bank Century.
Dalam sidang paripurna terakhir di Gedung MPR/DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (30/9), DPR merekomendasikan agar kasus Bank Century ditindaklanjuti sebagai kasus pidana oleh aparat hukum. Berdasarkan hasil kesimpulan dan rekomendasi atas audit Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi XI DPR menyatakan adanya dugaan penyalahgunaan wewenang dan kesalahan penilaian dari Bank Indonesia terhadap kucuran dana sebesar Rp 6,7 triliun.
“Hasil audit BPK menyatakan seperti itu,” ucap Hafiz Zawawi, Ketua Komisi XI. Selain penyelesaian hukum yang tegas, menurut Hafiz, DPR juga meminta BPK menyelesaikan hasil audit akhir terhadap kucuran dana ke Bank Century.
Dua hari silam, Ketua DPR Agung Laksono telah menerima hasil audit Bank Century dari BKP. Kasus Bank Century ini menjadi penting, bahkan sempat dibahas pada Konferensi Tingkat Tinggi G-20 di Pittsburgh, Amerika Serikat, yang juga dihadiri Presiden Susilo Bambang Yudhoyono [baca: DPR Terima Hasil Audit Bank Century].(ANS)
Konflik KPK-Polisi
Antara – Rabu, September 30
MK Berharap Konflik KPK-Polisi Dapat Diselesaikan
MK Berharap Konflik KPK-polisi Dapat Diselesaikan
Jakarta (ANTARA) – Mahkamah Konstitusi (MK) berharap konflik antara polisi dan KPK dapat diselesaikan dengan sebaik-baiknya sesuai hukum, moralitas, kejujuran dan sistem ketatanegaraan.
“Kita berharap dapat diselesaikan dengan sebaik-baiknya sesuai hukum, moralitas, kejujuran dan sistem ketatanegaraan,” kata Ketua MK, Mahfud MD, seusai acara halal bihalal di lingkungan MK, di Jakarta, Rabu.
Sebelumnya, Polri menetapkan Wakil Ketua KPK nonaktif, Bibit Samad Riyanto dan Chandra Hamzah, sebagai tersangka dalam kasus dugaan penyalahgunaan wewenang dan penyuapan.
KPK sendiri sebelumnya juga menyebutkan tengah mengkaji keterlibatan petinggi kepolisian berinisial SD terkait kasus Bank Century.
Ketua MK menyatakan posisi MK sendiri tidak dalam posisi memihak Polri dan KPK. “MK tidak dalam posisi memihak cicak (KPK) dan buaya (Polisi),” katanya.
Ia menyatakan MK sendiri dalam konflik itu, tidak bisa menjadi mediator dan tidak bisa dibawa ke MK.
“Pasalnya konflik itu bukan SKLN (sengketa kewenangan lembaga negara),” katanya.
Dikatakan, MK akan menangani SKLN jika ada lembaga negara yang sama-sama memiliki kewenangan yang disebutkan dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
“Polri punya UUD 1945 dibidang keamanan, tapi KPK tidak punya. Hingga tidak bisa berperkara di MK,” katanya.
Di bagian lain, ia menyatakan MK tidak bisa memberikan saran kepada presiden untuk menyikapi adanya konflik tersebut.
“MK bukan lembaga penasehat presiden, jadi MK tidak mungkin memberikan saran,” katanya.
Kendati demikian, ia meyakini presiden sudah mengikuti perkembangan dan memiliki orang-orang yang berkualitas untuk memberikan saran.
“Saya yakin presiden sudah ikut perkembangan ia pasti punya orang-orang yang memang berkualitas untuk memberikan saran. Oleh sebab itu, MK tidak akan memberi saran, kita yakin dan presiden tahu apa yang akan dilakukan,” katanya.
KasusPimpinanKPK
Antara – Rabu, September 30
MK: Polisi Tidak Profesional Tangani Kasus Pimpinan KPK
Jakarta (ANTARA) – Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Mahfud MD, menyatakan, polisi tidak profesional dalam menangani kasus Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) nonaktif, Chandra Hamzah dan Bibit Samad Rianto.
“Tampaknya tidak pidana belum ada dan baru dicari kemudian, hingga saya katakan (polisi) tidak profesional hingga harus diselesaikan secara baik-baik,” katanya seusai acara halal bilhalal karyawan MK, di Jakarta, Rabu.
Sebelumnya, Mabes Polri menetapkan Chandra Hamzah dan Bibit Samad Rianto, terkait dugaan penyalahgunaan wewenang dan penyuapan dalam penanganan dugaan korupsi proyek Sistem Komunikasi Radio Terpadu (SKRT) Departemen Kehutanan (Dephut) dengan PT Masaro Radiokom.
Mahfud MD menyatakan kalau murni itu tuduhan polisi kepada KPK terkait adanya pelanggaran kewenangan, maka itu bukan wewenang polisi dalam menanganinya.
“Itu wewenang PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara) atau administrasi internal. Kok tiba-tiba jadi pidana,” katanya.
“Kalau tidak ada bukti awal (menetapkan tersangka) ya tidak boleh,” katanya.
Ia menegaskan sudah menjadi kewenangan polisi kalau ada bukti tindak pidananya dengan bukti awal yang cukup.
“Tapi karena kalau ini tidak pidananya selalu berubah-ubah, tampaknya tindak pidana belum ada dan baru dicari kemudian, hingga saya katakan tidak profesional,” katanya.
Di bagian lain, ia menyatakan (MK) berharap konflik antara polisi dengan KPK dapat diselesaikan dengan sebaik-baiknya sesuai hukum, moral, kejujuran dan sistem ketatanegaraan.
“Kita berharap dapat diselesaikan dengan sebaik-baiknya sesuai hukum, moralitas, kejujuran dan sistem ketatanegaraan,” katanya.
Berkaitan dengan kasus antara KPK dengan polisi, maka berbagai kalangan termasuk Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) telah mendesak Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri untuk menonaktifkan Kepala Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim) Komisaris Jenderal Susno Duadji.
Suara Pembaruan
2009-09-30 Menagih Komitmen Istana
Oce Madril
Satu komitmen penting yang diucapkan oleh Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada pidato pertama setelah KPU secara resmi menyatakan dia terpilih sebagai presiden, Oktober 2004, adalah akan memimpin langsung agenda pemberantasan korupsi. Lima tahun memimpin pemerintahan, komitmen antikorupsi tersebut layak diapresiasi. Namun, komitmen tersebut terlihat pasang-surut.
Pada awal masa pemerintahannya (2004-2005) komitmen antikorupsi menjalar sampai ke beberapa kebijakan hukum. Namun, semangat itu mulai stagnan dan kian memudar ketika memasuki 2006. Bahkan, saat ini komitmen antikorupsi istana mulai dipertanyakan. Apalagi, setelah penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Pelaksana Tugas Komisi Pemberantasan Korupsi (Plt KPK).
Sejak lima tahun lalu, Presiden SBY telah mengeluarkan beberapa kebijakan hukum terkait pemberantasan korupsi. Dimulai dengan program terapi kejut (shock therapy) 100 hari pertama Kabinet Indonesia Bersatu (KIB), SBY kemudian melanjutkan langkahnya dengan menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi (Inpres No 5/2004). Instruksi yang ditujukan kepada hampir 500 instansi pemerintah, baik pusat maupun daerah, bertujuan untuk mempercepat proses pemberantasan korupsi dan reformasi birokrasi. Pada 2005, SBY melangkah lagi dengan menerbitkan Keputusan Presiden No 11/2005 tentang Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Timtas Tipikor). Tim yang terdiri dari gabungan antara Kejaksaan, Kepolisian, dan BPKP ini bertugas mengusut kasus-kasus korupsi di pemerintahan termasuk di lingkungan istana dan BUMN.
Stagnasi dan memudarnya komitmen antikorupsi istana mulai terlihat ketika SBY memulai tren baru dalam menyelesaikan perseteruan antarlembaga negara terkait dugaan korupsi, sebagaimana terungkap dalam hasil riset Pusat Kajian Antikorupsi FH UGM yang memberikan catatan khusus terhadap model penyelesaian ’secara adat’. Model penyelesaian ini mulai dipopulerkan SBY pada 2007, ketika SBY mempertemukan Taufiqurrahman Ruki (mantan Ketua KPK) dan Yusril Ihza Mahendra (mantan Mensesneg) untuk menyelesaikan perseteruan antara mereka terkait dugaan korupsi di Departemen Hukum dan HAM.
Dua kasus hukum lainnya juga diselesaikan secara adat, yakni perseteruan antara SBY dan Amien Rais terkait kasus korupsi dana nonbujeter Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) dan perseteruan antara Mahkamah Agung (MA) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terkait kasus audit biaya perkara di MA. Penyelesaian secara adat terbukti telah mengaburkan proses hukum. Kasus dugaan korupsi yang seharusnya diselesaikan melalui jalur hukum menjadi hilang akibat diselesaikan ’secara adat’.
Pelemahan KPK
Degradasi komitmen antikorupsi istana mencapai puncaknya ketika presiden mulai masuk pada ranah penegakan hukum yang dilakukan oleh KPK. Dimulai dengan sebuah pernyataan kontroversial yang mempersoalkan besarnya kewenangan KPK. Kemudian diikuti dengan langkah kontroversial BPKP untuk mengaudit KPK. Dan terakhir, langkah Polri yang mempersoalkan kewenangan KPK dan mengkriminalisasikan dua pimpinan KPK, Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Rianto. Kesemuanya seperti gayung bersambut yang kemudian berujung pada gagasan untuk menghilangkan beberapa kewenangan KPK, di antaranya kewenangan penuntutan dan penyadapan, pada pembahasan RUU pengadilan tipikor di DPR. Walaupun DPR membatalkan rencana tersebut, tapi publik sudah terlanjur merekam bahwa para politisi Senayan merasa terganggu dengan kehadiran KPK.
Penerbitan Perppu Plt KPK semakin memperkuat sinyal pelemahan terhadap institusi KPK. Produk hukum yang sangat subjektif dan nyaris “tanpa kontrol” ini tentu saja berbahaya jika tidak didasari alasan hukum yang kuat dan data empiris yang jelas. Latar belakang penerbitan perppu untuk menyelamatkan dan mengisi kekosongan kepemimpinan KPK, serta melanjutkan pemberantasan korupsi, dinilai tidak lebih dari pemanis dari ancaman yang sesungguhnya. Hal ini mudah dibaca dari berbagai fenomena adanya kekuatan yang menyerang balik KPK. Alih-alih menyelamatkan KPK, perppu ini justru menambah deretan persoalan baru. Setidaknya ke depan, independensi KPK akan terancam. Padahal, independensi salah satu syarat utama bagi sebuah lembaga pemberantasan korupsi yang efektif.
Serangkaian peristiwa dan kebijakan hukum kontroversial di atas jelas menunjukkan bahwa agenda pemberantasan korupsi sedang terancam. Jika hal ini dibiarkan, maka kepada kita akan kembali dipertontonkan dagelan pemberantasan korupsi pada tahun-tahun mendatang.
Penulis adalah Peneliti di Pusat Kajian Antikorupsi FH UGM, Master Student Law and Governance Program, Nagoya University, Jepang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar