Om Swastyastu,
Semeton sami pencinta Babad, marilah kita lanjutkan kisah
dari Babad Arya Kenceng Tegeh Kori. Kembali kami tekankan, penulisan kisah ini
dimaksudkan untuk menjadikan bahan pelajaran, motivasi bagi keluarga kami, dan
menjadikan panutan dalam melangkah. Apabila ada yang tidak sesuai dengan
harapan para pembaca, mohon dimaafkan seperti diketahui penulisan babad umumnya
sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor.
Apabila ada para pembaca yang budiman memiliki data yang
lebih akurat, kisah yang lebih lengkap mohon sudikiranya berbagi, tentu saja
kritik dan saran dari para pemirsa yang bersifat konstruktif akan kami terima
dengan senang hati.
Di dalam prasasti Dalem Bali ada tersirat ucapan “Tegeh
kori Arya Kenceng Pwasira”
Pura Dalem Benculuk Tegeh Kori
Rare Arya Kenceng kemudian tumbuh menjadi kesatria perjaka
yang tampan, bagus cerdas dan berwibawa, menjadi idaman para putra dan putri
dan disegani.
Rakyat serta perjaka putri sesama ningrat. Arya Tegeh Kori
tumbuh menjadi kesatria perkasa Kehidupannya sehari-hari bersama saudara
angkatnya (Sira Arya Ngurah Tabanan) adalah sangat akrab dan saling penuh
pengertian dalam segala sesuatu selaku putra raja terhadap orang tua, abdi
dalem dan para kaula serta rakyatnya.
Namun lambat laun rupanya hukum alam tidak dapat dikekang
(Dibendung). Segala - galanya di maya pada ini mengalami perubahan kecuali
perubahan itu sendiri. Lambat laun ke akraban persaudaraan pun mulai berubah
(renggang) sampai pada suatu saat mereka tiba pada titik puncak pertikaian
(klimaks) detik-detik kritis sampai pada batas yang digariskan oleh Yang Maha
Kuasa.
Mega mendung selisih pandangan mulai timbul setelah bertahun
- tahun pada batas saling kasih mengasihi satu sama lain akhirnya datang juga
saat saling mencurigai. Yaitu antara Sira Arya Tabanan dan Arya Tegeh kori
timbul perselisihan pandangan dan pendapat yang berpangkal pada pencindraan
(cemburu).
Prasangka lebih-lebih menuduh. Rwa bhineda tan dados
pasahang. Selisih pendapat tak dapat dihindari. Sira Ngurah Tabanan menuduh
bahwa Perjaka Arya Kenceng Tegeh kori menaruh hati pada istri Sira Ngurah
Tabanan. Berdasarkan pada rasa cemburu buta dan tuduhan sepihak ini Sira Ngurah
Tabanan membunuh istrinya sendiri.
Arya Kenceng Tegehkuri merasa sangat malu, dan memahami
keadaan yang sebenarnya. Toleransi dalam dirinya yang tinggi mendorong Beliau
kemudian mengalah serta mencari jalan untuk berlalu (pergi) dari wilayah
Tabanan, dari pada bercokol dicurigai dengan tuduhan - tuduhan yang mencemarkan
(merugikan) nama baik dan martabat (beliau masih punya harga diri). Akhirnya
Beliau bertekad meninggalkan Kerajaan Tabanan.
Pada malam yang pekat Beliau meninggalkan desa Buahan dari
wilayah Tabanan mengikuti gerak kakinya (ngurang - ngurang lampah)
dengan tujuan yang belum dapat ditentukan arah dan akhirnya Beliau pergi
seorang diri saja. Mula - mula menuju kearah utara sampai di danau Beratan,
kemudian dari daratan ini menuju kearah Timur berpedoman pada gunung - gunung
yang menjulang jauh di depannya, yaitu gunung Batur, gunung Abang, dan gunung
Agung.
Akhirnya sampailah Beliau di daratan daerah Kintamani. Dari
sini Beliau melanjutkan perjalanannya ketepi arah timur dataran tersebut.
Sampailah Beliau di tepian Ulun Danau Batur, kurang lebih sekitar dataran
daerah Songan sekarang. Disanalah kemudian Beliau mencari tempat untuk bertapa
semadi. Tidak berapa lama Beliau menunaikan tapa samadinya maka bertemulah
dalam Samadhi Beliau dengan Hyang Dewi Danu.
Bersabdalah Betari: “ Cucuku Tegehkuri, tapa samadhimu
dasyat (tan obah). Tapa samadhimu aku terima dan mengerti tujuanmu. “Nah
lihat itu (Bhatari menunjukkan ke arah barat laut). Lihat ada titik hitam (Ton-Ja-Ya
Badung). Penguasa di tempat itu Pasek Bendesa namanya. Ki bendesa memerintah di
sana secara bersama dengan para saudara-saudaranya Pasek Gaduh, Pasek Dangka,
Pasek Kabayan, Pasek Ngukuhin, Pasek Salahin dan Pasek
Tangkas. Mereka tidak punya raja. Mereka ingin punya raja yang bisa memimpin
mereka bersama. Kini mereka sedang ada karya (upacara) di parahyanganannya,
medewayadnya. Hyang akan memberikan cucuku sebuah anugrah bertuah.
Inilah dia! Betari menunjukkan sebuah cupu berupa Slepa tempat
kapur kinangan selepa dari perunggu yang kuning berkilat seperti
emas,bawalah dia” Sabda Bethari, “ Ia ini adalah sebuah jimat yang bisa
membikin dirimu tampak sangat kecil, teramat kecil bisa masuk ke dalam cupu
selepa ini, ke dalam cupu manik ini. Setibanya cucu di desa Tonja,
turunkan cupu ini di atas pintu kori sanggah I Bendesa tempat
mereka beryadnya itu. Kemudian masuklah cucuku ke dalam selepa itu. Di
sana cucuku akan dikagumi dan dihormati. Cucuku akan diangkat menjadi raja
mereka. Mereka belum punya pemimpin (Raja). Berangkatlah cucuku sekarang
juga!”. Kemudian gaiblah Bethari (Menghilang seketika).
Setelah Sira Arya sadar dari samadhinya, Beliau
membersihkan diri dan memeriksa di kanan - kirinya tempat bersemadhi tadi.
Nampak cupu manik pemberian Bethari. Beliau kemudian segera berangkat
mengikuti petunjuk Bethari. Pada malam harinya tibalah beliau di desa Tonja.
Beliau segera naik di atas pintu sanggah I Pasek Bendesa. Karena sudah
jauh malam tempat persembahyangan itu telah sepi “suwung” ditinggal
istirahat tidur oleh keluarga I Bendesa dan semua sanak keluarganya. Sira Arya
Kenceng Tegehkuri mengeluarkan cupunya. Beliau menaruh cupu itu
di atas pintu kori pemedalan parahyangan, sesuai dengan petunjuk Bethari,
akhirnya Beliau memuja dan menguncarkan mantra sehingga Beliau kemudian menjadi
kecil dan masuk ke dalam cupu selepa sesuai dengan petunjuk
Bethari di danau Batur. Segala sesuatu berjalan dengan lancar sesuai petunjuk
Bethari. Sira Arya menjadi kecil dan tutup cupu terbuka dan Sira Arya
masuk ke dalamnya dengan baik.
Pada keesokan harinya, sejak pagi I Bendesa sudah mulai
sibuk dengan tugas keluar masuk melakukan kegiatan upacara di pemedalan
sanggahnya. Akibat sinar matahari tiba-tiba selepa itu Nampak bercahaya
dilihat bersinar ngencorong oleh I Bendesa. I bendesa terkejut melihat
dan menyaksikan kejadian itu perasaan takut ini berangsur - angsur dirasakan
menjadi rasa bersyukur kehadapan sesuhunannya karena yang diduga adalah apa
yang dilihat itu adalah sesuatu wahyu akibat aturan upacara yang dia
laksanakan. Sebelum dia naik mengambil selepa itu, selepa
bercahaya itu disembah berulang-ulang. Perlahan-lahan dia menghampiri di damping
oleh sanak keluarganya, naik mengambil dan menurunkan cupu itu dari atas
pintu kori. Dengan tangan yang gemetaran ia membuka pelan-pelan cupu itu
dan mulai melihat adanya bayangan kecil berupa manusia Nampak di dalam cupu
tersebut. Bayangan kecil itu lambat laun bergerak menjadi wujud kecil seorang
manusia biasa. I pasek Bendesa dan kerabatnya sangat kagum dan heran
menyaksikan kejadian yang ajaib diluar kebiasaan dan dugaan ini. Setelah cupu
itu terbuka seluruhnya, maka melompatlah manusia kecil itu keluar dari dalam cupu.
Setibanya diatas pertiwi segera (secepat) itu pula Sira Arya Kenceng Tegehkuri
kembali ke dalam wujud ukuran manusia kembali seperti semula. Berdirilah beliau
dihadapan I Bendesa dan para saudara-saudaranya seorang yang sangat tampan,
bagus tanpa bandingan dan tampak angker berwibawa yang sebenarnya belum pernah
mereka lihat. Mereka semua melongo kagum, segan, takut dantidak tahu apa yang
harus mereka lakukan menghadapi manusia luar biasa itu.
Mereka semua menduga, segala kejadian itu ada hubungannya
dengan upacara yang mereka lakukan. Mereka menduga bahwa inilah Betara
sesuhunannya datang dalam bentuk visual nyelegodog di depan mereka.
Seperti dikomando mereka semua serempak menjatuhkan diri duduk bersila atau
bersimpuh menyembah. I Bendesa berkata dengan bhakti setulus hatinya, “Singgih
Bethara sesuhunan Titiang yang Maha Agung, kaula sinamian nunas lugraha
pengampura ring sor buk padan pakulun saha ngaturang pengaksama ping banget
pisan (sembah sujud kepada yang mulia).
Sira Arya Kenceng Tegeh kori sama sekali tidak menduga akan
menyaksikan kejadian sebagai yang beliau lihat dihadapannya. Melihat kejadian
ini I Bendesa dan para sanak keluarganya dan pengikutnya sangat panic, takut
dan tambah lama semakin bertambah gemetar. I bendesa bingung, ia tidak tahu apa
yang harus ia kerjakan. Mengingat bahwa ia sedang berada di sanggah sedang
melaksanakan upacara terhadap sesuhunannya tetap beranggapan bahwa orang yang
mereka hadapi sekarang adalah Betara sesuhunannya nyelegodog datang. Ia
berulang-ulang lagi menyembah pada Sira Arya Kenceng Tegehkuri sepuas-puasnya.
Setelah sepuasnya I menyembah barulah kemudian I Bendesa
bertanya; “ Siapa Betara sesuhunan titiang puniki….? Yang tiang hadapi
saat ini. Sira Arya Kenceng Tegehkuri menjawab dengan tenang sesuai
dengan panggilan jiwanya selaku ksatria. Beliau meminta agar I bendesa
menenangkan diri dan diberi keyakinan bahwa ia sedang berhadapan dengan
manusia biasa. Secara kesatria dengan setulus-tulusnya Beliau Sira Arya Kenceng
Tegehkuri menceritakan riwayat hidupnya dari semula lahir dan kelahirannya
sampai ia tiba di tempat I Pasek Bendesa. Mendengar cerita Beliau, I Bendesa
menjadi tambah kagum serta sangat memilukan hatinya dan menambah membuat I
Bendesa dan para sanak saudaranya bertambah hormat, karena :
Pertama yang dihadapi oleh I Bendesa ini adalah Putra Dalem
dan Seseorang yang dikasihi oleh Bethari Gunung Batur maupun Bethara di Gunung
Agung.
Kedua I Bendesa menghadapi seorang kesatria yang sakti
mandraguna yang telah ia saksikan tadi kebolehannya.
Ketiga, Sira Arya Tegehkuri dianggap seorang kesatria yang
teguh memegang sesana, jujur dan tulus ikhlas. Akhir kata karena pada ksatria
Sira Arya Kenceng Tegehkuri adalah seorang yang tidak terdapat hal-hal yang
meragukan pikiran I Bendesa serta para saudara-saudaranya, maupun pengikutnya
maka I Bendesa mohon supaya tamunya yang Agung suka menetap di Tonja.
Permohonan I Pasek Bendesa beserta saudara-saudaranya tidak ditolah oleh Sira
Arya Tegehkuri. Ini adalah sudah sejalan dengan petunjuk Ida Bethari Ulun Danu
di danau Batur Bhatari Danuh.
Sementara I Pasek Bendesa meneruskan upacara medewayadnya di
sanggahnya, maka untuk sementara bagi tamu yang diagungkan Sira Arya Tegehkuri,
dibuatkan pesanggrahan sementara yang khusus dan cukup lengkap dengan pengayah
layaknya sebagi penempatan tamu Agung, disamping meneruskan upacara yadnyanya
di merajan.
Setelah selesai upacara besar medewayadnya di mrajan
I Bendesa, maka segera dane I Pasek Bendesa mengundang peparumah Agung
membicarakan serta mendudukan Sira Arya Kenceng Tegehkuri dinobatkan menjadi
Raja pelindung mereka. Sesuai dengan petunjuk Betari Danu di Gunung Batur,
rakyat Tonjaya memang sejak lama mencari raja yang dapat melindungi rakyat
mereka bersama. Tibanya Sira Arya Tegehkuri dianggap sebagai anugrah karunia
Hyang Widhi berkat upacara Agung di sanggah paibon I Pasek Bendesa dengan
dukungan para saudara-saudaranya beserta pemuka masyarakat Tonjay dan
masyarakat seluruhnya, segera dipermaklumkan kehadapan Sri Aji Dalem
Samprangan. Baginda Dalem sangat berkenan dengan permohonan Pasek Bendesa dan
dalam waktu singkat Sira Arya Kenceng Tegehkuri dilantik menjadi Prabu di
Negara Badung berkedudukan di Behaculuk (Benculuk).
Setelah mendapat persetujuan Sri Aji Dalem maka kini rakyat
melaksanakan kebulatan tekad mendirikan puri bagi raja lengkap dengan
parahyangannya. Tempat yang ditetapkan menjadi istana adalah ulun Desa Tonjaya
sendiri dipinggir sungai Ayung. Begitulah dalam waktu yang singkat berdirilah
sebuah istana yang megah memenuhi persyaratan puri. Sebagai telah ditetapkan
dengan persetujuan Dalem, mengingat bahwa Arya Kenceng Tegehkuri adalah putra
Dalem. Segala sesuatu tidak boleh melempas dari ketetapan Dalem harus memenuhi
persyaratan Puri Majapahit, begitu juga Puri untuk Sira Arya Kenceng Tegehkuri
diharuskan memenuhi persyaratan itu juga.
Setelah Puri selesai dibangun, bersemayamlah Beliau di Puri
itu. Ibukota kerajaan disebut Behaculuk (Bonculuk), mengingatkan tempat asal
Sira Arya Kenceng Tegehkuri diasuh dibesarkan (Benculuk =Buahan = Jambe
=Purangan). Baginda bergelar Sira Arya Tegehkuri, gelar yang diberikan oleh
baginda Raja Dalem pad waktu menyerahkan Putra Dalem kepada sang ayah angkat
Sira Arya Kenceng.
Setelah dan sesudah baginda bersemayam dalam puri Baginda
serta bertahta menghadapi persoalan kenegaraan, maka perhatian Beliau mulailah
pada persoalan kenegaraan dan tidak ketinggalan pula tentang kerohanian (agama)
Negara dan rakyat. Baginda memerintahkan pemugaran-pemugaran kahyangan yang
lama, membangun kahyangan yang baru demi kesejahteraan dan ketentraman
masyarakat. Setelah itu bertumbuhlah pembangunan pura-pura kawitan rakyat
termasuk juga pembangunan pura kawitan leluhur baginda Sira Arya Kenceng
Tegehkuri.
Di samping membangun pura kawitan, Baginda memerintahkan
membangun dua pura besar lagi termasuk kawitan Baginda di dalamnya, untuk
pemujaan kepada Hyang Widhi dalam manifestasinya sebagai Bethara tertinggi di
gunung Toh Langkir (Agung), dan sebuah pemujaan untuk Bethari di Gunung Batur,
tempat Beliau mendapatkan panugrahan. Begitulah Baginda mendirikan pura kawitan
dan pemujaan Betara Toh Langkir, terletak di timur laut puri di pinggir sungai
Ayung.