Senin, 15 Oktober 2012

cerita tentang arya kenceng tegeh kori



Om Swastyastu,
Semeton sami pencinta Babad, marilah kita lanjutkan kisah dari Babad Arya Kenceng Tegeh Kori. Kembali kami tekankan, penulisan kisah ini dimaksudkan untuk menjadikan bahan pelajaran, motivasi bagi keluarga kami, dan menjadikan panutan dalam melangkah. Apabila ada yang tidak sesuai dengan harapan para pembaca, mohon dimaafkan seperti diketahui penulisan babad umumnya sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor.
Apabila ada para pembaca yang budiman memiliki data yang lebih akurat, kisah yang lebih lengkap mohon sudikiranya berbagi, tentu saja kritik dan saran dari para pemirsa yang bersifat konstruktif akan kami terima dengan senang hati.
Di dalam prasasti Dalem Bali ada tersirat ucapan “Tegeh kori Arya Kenceng Pwasira”
Pura Dalam Benculuk Tegeh Kori
Pura Dalem Benculuk Tegeh Kori


Rare Arya Kenceng kemudian tumbuh menjadi kesatria perjaka yang tampan, bagus cerdas dan berwibawa, menjadi idaman para putra dan putri dan disegani.
Rakyat serta perjaka putri sesama ningrat. Arya Tegeh Kori tumbuh menjadi kesatria perkasa Kehidupannya sehari-hari bersama saudara angkatnya (Sira Arya Ngurah Tabanan) adalah sangat akrab dan saling penuh pengertian dalam segala sesuatu selaku putra raja terhadap orang tua, abdi dalem dan para kaula serta rakyatnya.
Namun lambat laun rupanya hukum alam tidak dapat dikekang (Dibendung). Segala - galanya di maya pada ini mengalami perubahan kecuali perubahan itu sendiri. Lambat laun ke akraban persaudaraan pun mulai berubah (renggang) sampai pada suatu saat mereka tiba pada titik puncak pertikaian (klimaks) detik-detik kritis sampai pada batas yang digariskan oleh Yang Maha Kuasa.
Mega mendung selisih pandangan mulai timbul setelah bertahun - tahun pada batas saling kasih mengasihi satu sama lain akhirnya datang juga saat saling mencurigai. Yaitu antara Sira Arya Tabanan dan Arya Tegeh kori timbul perselisihan pandangan dan pendapat yang berpangkal pada pencindraan (cemburu).
Prasangka lebih-lebih menuduh. Rwa bhineda tan dados pasahang. Selisih pendapat tak dapat dihindari. Sira Ngurah Tabanan menuduh bahwa Perjaka Arya Kenceng Tegeh kori menaruh hati pada istri Sira Ngurah Tabanan. Berdasarkan pada rasa cemburu buta dan tuduhan sepihak ini Sira Ngurah Tabanan membunuh istrinya sendiri.

Arya Kenceng Tegehkuri merasa sangat malu, dan memahami keadaan yang sebenarnya. Toleransi dalam dirinya yang tinggi mendorong Beliau kemudian mengalah serta mencari jalan untuk berlalu (pergi) dari wilayah Tabanan, dari pada bercokol dicurigai dengan tuduhan - tuduhan yang mencemarkan (merugikan) nama baik dan martabat (beliau masih punya harga diri). Akhirnya Beliau bertekad meninggalkan Kerajaan Tabanan.
Pada malam yang pekat Beliau meninggalkan desa Buahan dari wilayah Tabanan mengikuti gerak kakinya (ngurang - ngurang lampah) dengan tujuan yang belum dapat ditentukan arah dan akhirnya Beliau pergi seorang diri saja. Mula - mula menuju kearah utara sampai di danau Beratan, kemudian dari daratan ini menuju kearah Timur berpedoman pada gunung - gunung yang menjulang jauh di depannya, yaitu gunung Batur, gunung Abang, dan gunung Agung.
Akhirnya sampailah Beliau di daratan daerah Kintamani. Dari sini Beliau melanjutkan perjalanannya ketepi arah timur dataran tersebut. Sampailah Beliau di tepian Ulun Danau Batur, kurang lebih sekitar dataran daerah Songan sekarang. Disanalah kemudian Beliau mencari tempat untuk bertapa semadi. Tidak berapa lama Beliau menunaikan tapa samadinya maka bertemulah dalam Samadhi Beliau dengan Hyang Dewi Danu.
Bersabdalah Betari: “ Cucuku Tegehkuri, tapa samadhimu dasyat (tan obah). Tapa samadhimu aku terima dan mengerti tujuanmu. “Nah lihat itu (Bhatari menunjukkan ke arah barat laut). Lihat ada titik hitam (Ton-Ja-Ya Badung). Penguasa di tempat itu Pasek Bendesa namanya. Ki bendesa memerintah di sana secara bersama dengan para saudara-saudaranya Pasek Gaduh, Pasek Dangka,

Pasek Kabayan, Pasek Ngukuhin, Pasek Salahin dan Pasek Tangkas. Mereka tidak punya raja. Mereka ingin punya raja yang bisa memimpin mereka bersama. Kini mereka sedang ada karya (upacara) di parahyanganannya, medewayadnya. Hyang akan memberikan cucuku sebuah anugrah bertuah. Inilah dia! Betari menunjukkan sebuah cupu berupa Slepa tempat kapur kinangan selepa dari  perunggu yang kuning berkilat seperti emas,bawalah dia”  Sabda Bethari, “ Ia ini adalah sebuah jimat yang bisa membikin dirimu tampak sangat kecil, teramat kecil bisa masuk ke dalam cupu selepa ini, ke dalam cupu manik ini. Setibanya cucu di desa Tonja, turunkan cupu ini di atas pintu kori sanggah I Bendesa tempat mereka beryadnya itu. Kemudian masuklah cucuku ke dalam selepa itu. Di sana cucuku akan dikagumi dan dihormati. Cucuku akan diangkat menjadi raja mereka. Mereka belum punya pemimpin (Raja). Berangkatlah cucuku sekarang juga!”. Kemudian gaiblah Bethari (Menghilang seketika).
Setelah Sira Arya sadar dari samadhinya,  Beliau membersihkan diri dan memeriksa di kanan - kirinya tempat bersemadhi tadi. Nampak cupu manik pemberian Bethari. Beliau kemudian segera berangkat mengikuti petunjuk Bethari. Pada malam harinya tibalah beliau di desa Tonja. Beliau segera naik di atas pintu sanggah I Pasek Bendesa. Karena sudah jauh malam tempat persembahyangan itu telah sepi “suwung” ditinggal istirahat tidur oleh keluarga I Bendesa dan semua sanak keluarganya. Sira Arya Kenceng Tegehkuri mengeluarkan cupunya. Beliau menaruh cupu itu di atas pintu kori pemedalan parahyangan, sesuai dengan petunjuk Bethari, akhirnya Beliau memuja dan menguncarkan mantra sehingga Beliau kemudian menjadi kecil dan masuk ke dalam cupu selepa sesuai dengan petunjuk Bethari di danau Batur. Segala sesuatu berjalan dengan lancar sesuai petunjuk Bethari. Sira Arya menjadi kecil dan tutup cupu terbuka dan Sira Arya masuk ke dalamnya dengan baik.
Pada keesokan harinya, sejak pagi I Bendesa sudah mulai sibuk dengan tugas keluar masuk melakukan kegiatan upacara di pemedalan sanggahnya. Akibat sinar matahari tiba-tiba selepa itu Nampak bercahaya dilihat bersinar ngencorong oleh I Bendesa. I bendesa terkejut melihat dan menyaksikan kejadian itu perasaan takut ini berangsur - angsur dirasakan menjadi rasa bersyukur kehadapan sesuhunannya karena yang diduga adalah apa yang dilihat itu adalah sesuatu wahyu akibat aturan upacara yang dia laksanakan. Sebelum dia naik mengambil selepa itu, selepa bercahaya itu disembah berulang-ulang. Perlahan-lahan dia menghampiri di damping oleh sanak keluarganya, naik mengambil dan menurunkan cupu itu dari atas pintu kori. Dengan tangan yang gemetaran ia membuka pelan-pelan cupu itu dan mulai melihat adanya bayangan kecil berupa manusia Nampak di dalam cupu tersebut. Bayangan kecil itu lambat laun bergerak menjadi wujud kecil seorang manusia biasa. I pasek Bendesa dan kerabatnya sangat kagum dan heran menyaksikan kejadian yang ajaib diluar kebiasaan dan dugaan ini. Setelah cupu itu terbuka seluruhnya, maka melompatlah manusia kecil itu keluar dari dalam cupu. Setibanya diatas pertiwi segera (secepat) itu pula Sira Arya Kenceng Tegehkuri kembali ke dalam wujud ukuran manusia kembali seperti semula. Berdirilah beliau dihadapan I Bendesa dan para saudara-saudaranya seorang yang sangat tampan, bagus tanpa bandingan dan tampak angker berwibawa yang sebenarnya belum pernah mereka lihat. Mereka semua melongo kagum, segan, takut dantidak tahu apa yang harus mereka lakukan menghadapi manusia luar biasa itu.
Mereka semua menduga, segala kejadian itu ada hubungannya dengan upacara yang mereka lakukan. Mereka menduga bahwa inilah Betara sesuhunannya datang dalam bentuk visual nyelegodog di depan mereka. Seperti dikomando mereka semua serempak menjatuhkan diri duduk bersila atau bersimpuh menyembah. I Bendesa berkata dengan bhakti setulus hatinya, “Singgih Bethara sesuhunan Titiang yang Maha Agung, kaula sinamian nunas lugraha pengampura ring sor buk padan pakulun saha ngaturang pengaksama ping banget pisan (sembah sujud kepada yang mulia).
Sira Arya Kenceng Tegeh kori sama sekali tidak menduga akan menyaksikan kejadian sebagai yang beliau lihat dihadapannya. Melihat kejadian ini I Bendesa dan para sanak keluarganya dan pengikutnya sangat panic, takut dan tambah lama semakin bertambah gemetar. I bendesa bingung, ia tidak tahu apa yang harus ia kerjakan. Mengingat bahwa ia sedang berada di sanggah sedang melaksanakan upacara terhadap sesuhunannya tetap beranggapan bahwa orang yang mereka hadapi sekarang adalah Betara sesuhunannya nyelegodog datang. Ia berulang-ulang lagi menyembah pada Sira Arya Kenceng Tegehkuri sepuas-puasnya.
Setelah sepuasnya I menyembah barulah kemudian I Bendesa bertanya; “ Siapa Betara sesuhunan titiang puniki….? Yang tiang hadapi saat ini. Sira Arya Kenceng  Tegehkuri menjawab dengan tenang sesuai dengan panggilan jiwanya selaku ksatria. Beliau meminta agar I bendesa menenangkan diri  dan diberi keyakinan bahwa ia sedang berhadapan dengan manusia biasa. Secara kesatria dengan setulus-tulusnya Beliau Sira Arya Kenceng Tegehkuri menceritakan riwayat hidupnya dari semula lahir dan kelahirannya sampai ia tiba di tempat I Pasek Bendesa. Mendengar cerita Beliau, I Bendesa menjadi tambah kagum serta sangat memilukan hatinya dan menambah membuat I Bendesa dan para sanak saudaranya bertambah hormat, karena :

Pertama yang dihadapi oleh I Bendesa ini adalah Putra Dalem dan Seseorang yang dikasihi oleh Bethari Gunung Batur maupun Bethara di Gunung Agung.
Kedua I Bendesa menghadapi seorang kesatria yang sakti mandraguna yang telah ia saksikan tadi kebolehannya.
Ketiga, Sira Arya Tegehkuri dianggap seorang kesatria yang teguh memegang sesana, jujur dan tulus ikhlas. Akhir kata karena pada ksatria Sira Arya Kenceng Tegehkuri adalah seorang yang tidak terdapat hal-hal yang meragukan pikiran I Bendesa serta para saudara-saudaranya, maupun pengikutnya maka I Bendesa mohon supaya tamunya yang Agung suka menetap di Tonja. Permohonan I Pasek Bendesa beserta saudara-saudaranya tidak ditolah oleh Sira Arya Tegehkuri. Ini adalah sudah sejalan dengan petunjuk Ida Bethari Ulun Danu di danau Batur Bhatari Danuh.
Sementara I Pasek Bendesa meneruskan upacara medewayadnya di sanggahnya, maka untuk sementara bagi tamu yang diagungkan Sira Arya Tegehkuri, dibuatkan pesanggrahan sementara yang khusus dan cukup lengkap dengan pengayah layaknya sebagi penempatan tamu Agung, disamping meneruskan upacara yadnyanya di merajan.
Setelah selesai upacara besar medewayadnya di mrajan I Bendesa, maka segera dane I Pasek Bendesa mengundang peparumah Agung membicarakan serta mendudukan Sira Arya Kenceng Tegehkuri dinobatkan menjadi Raja pelindung mereka. Sesuai dengan petunjuk Betari Danu di Gunung Batur, rakyat Tonjaya memang sejak lama mencari raja yang dapat melindungi rakyat mereka bersama. Tibanya Sira Arya Tegehkuri dianggap sebagai anugrah karunia Hyang Widhi berkat upacara Agung di sanggah paibon I Pasek Bendesa dengan dukungan para saudara-saudaranya beserta pemuka masyarakat Tonjay dan masyarakat seluruhnya, segera dipermaklumkan kehadapan Sri Aji Dalem Samprangan. Baginda Dalem sangat berkenan dengan permohonan Pasek Bendesa dan dalam waktu singkat Sira Arya Kenceng Tegehkuri dilantik menjadi Prabu di Negara Badung berkedudukan di Behaculuk (Benculuk).
Setelah mendapat persetujuan Sri Aji Dalem maka kini rakyat melaksanakan kebulatan tekad mendirikan puri bagi raja lengkap dengan parahyangannya. Tempat yang ditetapkan menjadi istana adalah ulun Desa Tonjaya sendiri dipinggir sungai Ayung. Begitulah dalam waktu yang singkat berdirilah sebuah istana yang megah memenuhi persyaratan puri. Sebagai telah ditetapkan dengan persetujuan Dalem, mengingat bahwa Arya Kenceng Tegehkuri adalah putra Dalem. Segala sesuatu tidak boleh melempas dari ketetapan Dalem harus memenuhi persyaratan Puri Majapahit, begitu juga Puri untuk Sira Arya Kenceng Tegehkuri diharuskan memenuhi persyaratan itu juga.
Setelah Puri selesai dibangun, bersemayamlah Beliau di Puri itu. Ibukota kerajaan disebut Behaculuk (Bonculuk), mengingatkan tempat asal Sira Arya Kenceng Tegehkuri diasuh dibesarkan (Benculuk =Buahan = Jambe =Purangan). Baginda bergelar Sira Arya Tegehkuri, gelar yang diberikan oleh baginda Raja Dalem pad waktu menyerahkan Putra Dalem kepada sang ayah angkat Sira Arya Kenceng.
Setelah dan sesudah baginda bersemayam dalam puri Baginda serta bertahta menghadapi persoalan kenegaraan, maka perhatian Beliau mulailah pada persoalan kenegaraan dan tidak ketinggalan pula tentang kerohanian (agama) Negara dan rakyat. Baginda memerintahkan pemugaran-pemugaran kahyangan yang lama, membangun kahyangan yang baru demi kesejahteraan dan ketentraman masyarakat. Setelah itu bertumbuhlah pembangunan pura-pura kawitan rakyat termasuk juga pembangunan pura kawitan leluhur baginda Sira Arya Kenceng Tegehkuri.
Di samping membangun pura kawitan, Baginda memerintahkan membangun dua pura besar lagi termasuk kawitan Baginda di dalamnya, untuk pemujaan kepada Hyang Widhi dalam manifestasinya sebagai Bethara tertinggi di gunung Toh Langkir (Agung), dan sebuah pemujaan untuk Bethari di Gunung Batur, tempat Beliau mendapatkan panugrahan. Begitulah Baginda mendirikan pura kawitan dan pemujaan Betara Toh Langkir, terletak di timur laut puri di pinggir sungai Ayung.

Tidak ada komentar: